Aku menyadari suatu hal. Iya, aku seolah-olah memiliki
kebiasaan baru yang menyenangkan. Memikirkanmu. Mengapa kamu? Sejak kapan? Bukankah
dulu kita tak pernah bersentuhan dengan perasaan? Benarkah kita sudah memasuki
arena ini? Rasa yang saling berpapasan, lalu nyaman dan memilih tinggal.
Aku bukan gadis kuat yang seperti kau pikirkan. Itu dulu –mungkin
iya- tapi tidak dengan saat ini. Sejak berkali airmata menjadi pertanda tibanya
si peretak hati, percayaku mulai berkurang. Kukira sosok itu ditakdirkan untuk
menemukanku, tapi nyatanya meremukkan. Bukannya aku mengasingkan diri tak mau
lagi dicintai, pintu itu masih akan terbuka, tapi aku perlu menyeleksi pemilik
kuncinya. Cinta masih mengental, tapi luka pun terasa mengekal. Aku hanya tak
ingin salah langkah. Karena pernah, cinta membuatku begitu patah. Untuk sembuh,
perlu waktu yang sangat lama. Aku butuh merangkak seorang diri, meminum pil
kenyataan yang begitu pahit dan menyadarkan bahwa satu-satunya hal yang bisa
kulakukan adalah menerima.
Memang, tadinya aku tak ingin terburu-buru mendefinisikanmu
sebagai calon penghuni hati. Karena ada ruangan yang pernah diobrak-abrik oleh
beberapa objek masa laluku, kini perlu dirapihkan terlebih dahulu. Terlalu
jahat jika ruangan tempatmu menghuni nanti masih dipenuhi sisa-sisa luka.
Penyambutan yang baik adalah sebenar-benarnya mencintai dengan tanpa membawa
masa lalu ikut serta. Memang, ingatan tentang beberapa peristiwa patahnya hati
takkan pernah bisa terusir pergi. Tapi setidaknya aku perlu memastikan bahwa
sekalipun bahagia mulai mengudara, ini bukanlah penyangkalan atau pesta sandiwara.
Ini bukan perasaan sisa-sisa masa lalu. Harus ada hati yang benar-benar
bahagia, atas maaf yang sepenuhnya terlaksana.
Tapi sampai kapan? Kita memang tidak bisa lagi menunggu
lama. Mungkin ‘kita’ sudah selayaknya tercipta. Ruangan itu kini telah
kurapikan serta kusiapkan untukmu. Masuklah dengan nyaman. Dan kumohon, jangan
buat ruangan itu kembali berantakan. Aku percaya padamu, sangat mempercayaimu :)