Sabtu, 19 Desember 2015

Terima Kasih


Kalau mengutip salah satu prosa dari Kurniawan Gunadi tentang hakikat seseorang sebelum bertemu, ia adalah laksana dua sungai yang mengalir tak kunjung bertemu di muara. Atau seperti malam dan siang yang dipisahkan meski dalam bumi yang sama. Ya, memang semacam itulah sebelum kita bertemu. Kita hanya duduk sendiri sendiri, berjauh-jauhan, dan akhirnya saling mencari tahu.

Mungkin pertemuan pertama kita memang tak seindah dan sedramatis kisah picisan yang bahkan aku pun lupa apa yang membuatku dulu pertama mengenalmu. Ya, kita hanyalah seseorang yang dikenalkan lewat waktu dan lingkungan. Aku lebih suka yang natural, apa adanya seperti kamu yang sekarang.

Ada beberapa kenangan kecil tentangmu yang terlintas ketika aku menuliskan spasi demi spasi yang hanya bisa aku tuangkan dalam sebuah tulisan sederhana dengan tema besarnya adalah dirimu. Sebab aku tak pandai berkata. Aku bukan jenis manusia yang dengan mudah mengungkapkan apa yang tersimpan di hati lewat lidah. Karena aku bukanlah jenis wanita yang bisa mengutarakan serta merta apa yang mengganjal di sudut hati. Jadi, bolehkah segala tentangmu aku tuangkan disini?

Terima kasih, karena kau telah memberiku tempat ternyaman dalam segala hal. Walaupun tak akan pernah tergantikan, tepat ketika aku menyerahkan hati di saat itulah kau adalah sosok pelindung serupa Ayah bagiku. Kau tahu kan, perasaan nyaman tidak hanya muncul karena sudah saling mengenal lama. Tapi juga karena keyakinan bahwa tidak akan ada tendensi apapun yang harus dikhawatirkan. Nyaman tidak saja betah berlama-lama ketika saling bercakap. Tapi juga nyaman meskipun tanpa suara. Nyaman juga bisa jadi adalah sebuah tanda-tanda percaya. Percaya bahwa apapun yang melekat padaku tidak menjadi masalah atas nilai apapun yang diberikan olehmu. Nyaman ketika tidak harus menjadi orang lain agar terus dicintai. Karena setahuku, cinta yang baik adalah cinta yang menjadikan kita menjadi diri sendiri. Kita yang tidak ditutup-tutupi. Karena cinta, sejatinya adalah penerimaan.

Terima kasih sudah selalu hadir dalam setiap kondisi hidupku, dalam tawa dan juga tangis. Maaf kalau aku selalu merepotkan ketika harus menangis di hadapanmu atas permasalahanku sendiri. Tapi sungguh, “semua akan baik-baik saja” yang terucap olehmu sudah menjadi sebuah penawar dalam keruhnya perasaan. Karena aku tahu, kau bukanlah seseorang yang pandai berkata-kata. Kamu adalah seseorang yang tidak akan berkata “ya” atas “tidak” ataupun berkata “suka” atas “tidak suka”.  Ya, kamu adalah orang yang apa adanya.

Terima kasih telah berbaik hati meminjamkan telingamu untuk mendengarkan aku bercerita, lalu membiarkan aku untuk selalu mencari kau ketika aku membutuhkan juga terima kasih untuk kesabaranmu. Karena aku yakin, tak semua orang sesabar dirimu dalam menghadapi aku. Terima kasih padamu karena telah berbaik hati memberitahuku tentang dunia dari sudut pandangmu. Tentang bagaimana menyikapi hidup dan perasaan.

Terima kasih sudah menjadi teman, sahabat, ayah dan kekasih yang baik selama ini. Banyak harapan kutitipkan pada Tuhan. Agar kita kelak mampu terus bertahan, seberat apapun cobaan yang datang di hadapan. Sebagian aku ada padamu, maka jagalah sepenuh hatimu.


Semarang, 19 Desember 2015

Jumat, 11 Desember 2015

Curhat Epid: Ketika Peminatan Menjadi Salah Satu #CeritaHidupku


Di tengah kegalauan teman-teman seangkatan mendekati hari penentuan peminatan, mungkin yang ada di benakku saat itu tinggalah pemantapan diri. Menjadi seorang Epidemiolog memang sudah aku ikrarkan sejak  semester 2.

Kok mau sih masuk epid?”, “Epid kan anak-anaknya individualis, belajar terus, kutu buku!”. Pertanyaan dan pernyataan sejenis ini bukanlah hal yang mengejutkan untukku, bahasa ringannya sudah terlalu mainstream. Ya, momok semacam itulah yang masih melekat untuk para penghuni peminatan yang satu ini.

Aku sebenarnya tidak menepis bahwa pemikiran-pemikiran itu sempat menciutkan nyaliku. Jelas saja, aku bukanlah mahasiswi yang cukup pandai, aku tidak rajin, dan aku bukanlah seorang kutu buku. Sosok sempurna seorang mahasiswa epid sama sekali tidak melekat dalam diriku.

Aku ingin menjadi bagian dari peminatan mungkin bisa dibilang hanya bermodalkan nekat dan niat.  Bagaimana tidak? Belum masuk saja sudah banyak omongan dan pertanyaan “kamu yakin?” yang terlalu membebaniku. Pertimbangan orangtua serta restu mereka juga menjadi bahan timangan sebelum benar-benar mengisi angket peminatan waktu itu. Persyaratannya pun waktu itu hanya melihat dari nilai Dasar Epidemiologi dengan minimal nilai B.

Proses seleksi peminatan di tahunku memang tidak serumit di tahun sebelumnya yang bisa sampai menggerakkan massa untuk meminta banding. Di tahunku, semua berjalan tenang dan adem ayem, namun tidak bisa dipungkiri tetap ada kendala dan masalah satu dua yang membelit beberapa mahasiswanya juga seperti angket hilang atau akademik yang salah entry data. Sepertinya masing-masing staf bagian peminatan yang ada di FKM Undip sudah mengadakan refleksi dari tahun ke tahun, jadi banyak peminatan yang menawarkan kuota lebih untuk mahasiswanya. Sebut saja bagian Epidtrop yang berani mengambil kuota fantastis dua kali lipat dari tahun sebelumnya dengan membuka kuota sebanyak 80 orang. Ya, jujur aku sempat syok melihat kuota sebanyak itu. Bingung antara harus merasa sedih atau senang mendengarnya. Aku bisa senang yang artinya peluangku untuk masuk bisa lebih besar, tapi di sisi lain aku juga tidak menginginkan kuota epid segemuk itu.

Setelah menunggu beberapa minggu, akhirnya tibalah waktu pengumuman yang paling ditunggu-tunggu para mahasiswa semester lima waktu itu. Ya, inilah aku, yang akhirnya resmi diterima menjadi keluarga Epidemiologi dan Penyakit Tropik 2015.

Seiiring berjalannya waktu, aku menyadari bahwa peminatan ini tidak seseseram kebanyakan orang pikirkan. Epid bagiku adalah sebuah taman bermain. Epid adalah tempat dimana aku menemukan rumah, tempat dimana tawa dengan mudahnya tercipta. Disini segala macam jenis manusia tersedia. Kata siapa epid hanya dihuni si kutu buku, kata siapa epid itu apatis, kata siapa epid itu individualis. Tidak, anggapan itu hampir sepenuhnya salah. Memang tidak bisa ditepis bahwa disini kita memang harus belajar lebih, kita harus terbiasa membaca jurnal, kita harus menghafal dengan susah payah ilmu setengah kedokteran yang rumit, dan kita pun harus terjun ke lapangan serta praktikum bahkan hingga ke luar kota. Tapi inilah tantangannya, bukan?

Bukankah tempaan yang berat membuat pribadi seseorang bisa menjadi lebih kuat? Itu lah yang selalu aku tanamkan selalu di dalam diriku. Yang paling berkesan di peminatan ini adalah bertemu dengan dosen-dosen yang luar biasa yang membuatku selalu merasa semakin bodoh karena tidak mengetahui apapun yang akhirnya memacuku untuk terus belajar lebih dan lebih.

Bagiku tidak harus pandai untuk menjadi seorang mahasiswa epid, asal kamu mencintai ilmunya apapun itu pasti akan terasa mudah. Semua yang dilandasi dengan cinta akan terasa lebih mudah, bukan?

Rabu, 07 Januari 2015

Catatan Seorang Epidemiolog: Menggapai Cita dan Cinta


Menjadi seorang epidemiolog? Sejujurnya tidak pernah terlintas dibenakku untuk berkecimpung di dunia ini sebelumnya. Keinginan awal melanjutkan perjalanan studiku sebagai mahasiswa Kesehatan Masyarakat pun hanya dilandasi atas ketertarikanku pada dunia para medis dengan belum sempat berkenalan lebih jauh tentang seluk beluknya. Setelah menjadi bagian didalamnya, ternyata Fakultas Kesehatan Masyarakat sendiri memiliki 9 peminatan antara lain Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku (PKIP), Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), Gizi Kesehatan, Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Biostatistika, Administrasi Kebijakan Kesehatan (AKK), Kesehatan Lingkungan, Entomologi serta Epidemiologi dan Penyakit Tropik.
Keinginan untuk lebih memperdalam bidang epidemiologi timbul sejak mengenal ilmu dasar epidemiologi di semester 2. Ketertarikanku pada epidemiologi bertambah ketika berkenalan dengan mata kuliah Surveilans Epidemiologi di semester 4. Di Surveilans Epidemiologi kita bisa melaksanakan perencanaan dan evaluasi di bidang surveilans epidemiologi penyakit menular dan penyakit tidak menular, advokasi dan fasilitasi kesiapsiagaan dan penanggulangan KLB, kajian dan diseminasi informasi, kesehatan lingkungan, kesehatan matra, kemitraan, dan jejaring kerja, serta pendidikan dan pelatihan bidang surveilans epidemiologi yang membuatku sangat tertarik.
Dan setelah lulus nanti dan berhasil menjadi seorang epidemilog, saya ingin bekerja sebagai surveilans di BBTKLPP. BBTKLPP atau Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit adalah Unit Pelaksana Teknis di lingkungan Kementerian Kesehatan yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Saya tertarik untuk bekerja di BBTKLPP karena di tempat tersebut tidak hanya menangani perihal surveilans epidemiologi saja, tetapi juga pelaksanaan analisis dampak kesehatan lingkungan (ADKL), pelaksanaan laboratorium rujukan, pelaksanaan pengembangan model dan teknologi tepat guna, pelaksanaan uji kendali mutu dan kalibrasi, pelaksanaan penilaian dan respon cepat, kewaspadaan dini dan penanggulangan KLB/wabah dan bencana, pelaksanaan surveilans faktor risiko penyakit tidak menular, pelaksanaan pendidikan dan pelatihan, pelaksanaan kajian dan pengembangan teknologi pengendalian penyakit serta kesehatan lingkungan dan kesehatan matra. Semoga harapan ini bisa terwujud :)

Link: Epidemiologi dan Penyakit Tropik FKM Undip