Kalau mengutip salah satu prosa dari Kurniawan
Gunadi tentang hakikat seseorang sebelum bertemu, ia adalah laksana dua sungai
yang mengalir tak kunjung bertemu di muara. Atau seperti malam dan siang yang
dipisahkan meski dalam bumi yang sama. Ya, memang semacam itulah sebelum kita
bertemu. Kita hanya duduk sendiri sendiri, berjauh-jauhan, dan akhirnya saling
mencari tahu.
Mungkin pertemuan pertama kita memang tak
seindah dan sedramatis kisah picisan yang bahkan aku pun lupa apa yang membuatku
dulu pertama mengenalmu. Ya, kita hanyalah seseorang yang dikenalkan lewat
waktu dan lingkungan. Aku lebih suka yang natural, apa adanya seperti kamu yang
sekarang.
Ada beberapa kenangan kecil tentangmu yang
terlintas ketika aku menuliskan spasi demi spasi yang hanya bisa aku tuangkan
dalam sebuah tulisan sederhana dengan tema besarnya adalah dirimu. Sebab aku
tak pandai berkata. Aku bukan jenis manusia yang dengan mudah mengungkapkan apa
yang tersimpan di hati lewat lidah. Karena aku bukanlah jenis wanita yang bisa
mengutarakan serta merta apa yang mengganjal di sudut hati. Jadi, bolehkah
segala tentangmu aku tuangkan disini?
Terima kasih, karena kau telah memberiku
tempat ternyaman dalam segala hal. Walaupun tak akan pernah tergantikan, tepat
ketika aku menyerahkan hati di saat itulah kau adalah sosok pelindung serupa
Ayah bagiku. Kau tahu kan, perasaan nyaman tidak hanya muncul karena sudah
saling mengenal lama. Tapi juga karena keyakinan bahwa tidak akan ada tendensi
apapun yang harus dikhawatirkan. Nyaman tidak saja betah berlama-lama ketika
saling bercakap. Tapi juga nyaman meskipun tanpa suara. Nyaman juga bisa jadi
adalah sebuah tanda-tanda percaya. Percaya bahwa apapun yang melekat padaku
tidak menjadi masalah atas nilai apapun yang diberikan olehmu. Nyaman ketika
tidak harus menjadi orang lain agar terus dicintai. Karena setahuku, cinta yang
baik adalah cinta yang menjadikan kita menjadi diri sendiri. Kita yang tidak
ditutup-tutupi. Karena cinta, sejatinya adalah penerimaan.
Terima kasih sudah selalu hadir dalam setiap
kondisi hidupku, dalam tawa dan juga tangis. Maaf kalau aku selalu merepotkan
ketika harus menangis di hadapanmu atas permasalahanku sendiri. Tapi sungguh, “semua akan baik-baik saja” yang terucap
olehmu sudah menjadi sebuah penawar dalam keruhnya perasaan. Karena aku tahu,
kau bukanlah seseorang yang pandai berkata-kata. Kamu adalah seseorang yang
tidak akan berkata “ya” atas “tidak” ataupun berkata “suka” atas “tidak suka”. Ya, kamu adalah orang yang apa adanya.
Terima kasih telah berbaik hati meminjamkan
telingamu untuk mendengarkan aku bercerita, lalu membiarkan aku untuk selalu
mencari kau ketika aku membutuhkan juga terima kasih untuk kesabaranmu. Karena
aku yakin, tak semua orang sesabar dirimu dalam menghadapi aku. Terima kasih
padamu karena telah berbaik hati memberitahuku tentang dunia dari sudut
pandangmu. Tentang bagaimana menyikapi hidup dan perasaan.
Terima kasih sudah menjadi teman, sahabat,
ayah dan kekasih yang baik selama ini. Banyak harapan kutitipkan pada Tuhan.
Agar kita kelak mampu terus bertahan, seberat apapun cobaan yang datang di
hadapan. Sebagian aku ada padamu, maka jagalah sepenuh hatimu.
Semarang, 19 Desember 2015
jika hidup anda hanya melakukan fitnah dan ghibah dimana2, saya jamin, saya pastikan, hidup anda tidak akan pernah tenang. apa anda hanya berstatus muslim di KTP saja?
BalasHapusiya tuh gayanya aja pakek jilbab tp kelakuannya suka ghibahin orang, msh mending ghibah. fitnah juga disebar sm dia. malu pakek jilbab. lepas aja
BalasHapusmati aja gih
BalasHapus