Sabtu, 03 Juni 2017

[REVIEW DRAMA KOREA] VOICE: Pembunuhan Keji Sang Psikopat





Bertemu lagi dengan genre thrille-mystery besutan TV kabel OCN bertajuk ‘VOICE’. ‘VOICE’ ini sebenarnya tayang sebelum drama ‘TUNNEL’, tapi kenyataannya nonton ‘TUNNEL’ duluan. Jadi saya tetap ingin memberi review singkat soal drama ini yang menurutku ceritanya lebih menyuguhkan cerita pembunuhan yang lebih berani kalau dibandingkan ‘TUNNEL’. Berani disini saya artikan sadis ya. Saking sadisnya saya selalu dibuat lelah selesai menonton tiap episodenya. Bahkan kabarnya drama ini sempat diberi teguran oleh komisi penyiaran di Korea karena banyaknya adegan bloody yang terlalu telanjang.

Sinopsis
Perihal garis besar ceritanya, drama ini berangkat dari kisah seorang detektif bernama Moo Jin-Hyuk (Jang Hyuk) yang pernah kehilangan istrinya dengan cara yang sadis, dibunuh secara keji di hari ulang tahun Moo Jin-Hyuk. Sebelum meninggal, istri Moo Jin-Hyuk sempat menelepon ke layanan Emergency Call 112 untuk meminta bantuan yang diterima oleh petugas Kang Kwon-Jo (Lee Ha-Na). Kang Kwon-Jo ini ternyata memiliki kemampuan khusus dalam pendengarannya. Ia mampu mendengar suara-suara detail dan sangat kecil yang tidak tertangkap oleh pendengaran manusia biasa, bahkan keberadaan seseorang bisa diketahui hanya dengan menganalisis suara di balik telepon. Ya, Kang Kwon-Jo adalah saksi suara dari kasus pembunuhan istri Moo Jin-Hyuk. Secara kebetulan sesaat setelah kasus pembunuhan istri Moo Jin-Hyuk, ayah Kang Kwon-Jo yang juga seorang polisi pun dibunuh oleh orang yang sama karena kedapatan ketahuan oleh sang pembunuh yang sedang melarikan diri di tempat kejadian perkara. Jadilah drama ini berpusat pada Moo Jin-Hyuk dan Kang Kwon-Jo yang bekerjasama dalam mengungkap sang pembunuh psikopat yang menghilangkan nyawa dari orang yang mereka cintai dalam sebuah tim khusus bernama Golden Team. Dari sinilah akhirnya tabir misteri itu terkuak satu persatu hingga muncullah sang pembunuh sebenarnya ke permukaan.

Riddle yang Mudah Terbaca
Nikmatnya tontonan misteri adalah di saat kita diberi ruang untuk menebak-nebak siapakah pelakunya atau apa misteri yang sebenarnya terjadi. Dalam drama ini kisah misteri pendamping pun banyak dimunculkan agar drama ini tidak monoton dan sesuai dengan banyaknya jumlah episode yang akan diproduksi. Namun saya sebagai penikmat teka-teki merasa dari sekian kasus yang disajikan, banyak yang mudah terbaca. Contohnya adalah kasus penculikan Park Eun-Byul atau kasus pembunuhan Park Book-Soon. Bahkan misteri utama bisa saya tebak dengan tepat dari awal.

Cerita Utama yang Kurang Menonjol
Menu utama dari drama ini adalah mengungkap siapa kah dalang dari kasus pembunuhan besar selama ini. Namun karena terlalu banyaknya cerita pendamping yang dimunculkan, sang psikopat tidak terlalu dibahas tajam di cerita ini. Selain itu, pendalaman karakter Moo Tae-Goo (Kim Jae-Wook) ini kurang sekali. Sayang sekali kan padahal mukanya yang ganteng nan angker ini sudah dapat sekali chemistry-nya. Karakter pembunuh tak berhati pun tidak dimunculkan di episode-episode puncak, malah terkesan lembek. Tidak seperti di awal-awal yang karakter satu ini terkesan sangat kuat.


Dalam drama ini juga tidak begitu dipaparkan alasan yang menjadi latar belakang utama pembunuhan yang menimpa istri Moo Jae-Hyuk. Agak ngerasa kurang saja sih disini. Walau sudah dijelaskan namun tidak secara detail mengingat inilah inti utama dari cerita ini. Saya juga paham mengapa pembunuh sebenarnya baru diketahui menjelang episode akhir. Ini semua karena kemampuan khusus Kang Kwon-Jo yang mengenal suara pelaku yang didengarnya saat malam pembunuhan ayahnya dan istri Moo Jin-Hyuk lewat telepon. Jadi Kang Kwon-Jo tidak mungkin salah alamat deh untuk mengalamatkan tuduhan. Beda cerita kalau Kang Kwon-Jo adalah manusia biasa, pasti sulit ya mencari bukti kalau Moo Tae-Goo ini adalah pembunuhnya.

Hadirnya Yesung Memberi Angin Segar


Wah ketahuan ya kalau saya fangirl Super Junior. Memang benar kalau kehadiran Yesung saya sebut angir segar karena mampu memberikan saya ruang untuk bernafas. Bayangkan saya hampir setiap episode pasti ada saja adegan berdarahnya. Tiap ada scene Yesung pasti yang ada saya langsung mesem-mesem sendiri haha. Selain karena karakternya di drama ini yang memang kocak dan santai, saya juga sudah tahu di aslinya bagaimana sifat lawaknya Yesung. Jadi kalau lihat Yesung langsung sedikit terhibur setelah banyaknya adegan mencekam yang muncul.

Walaupun ada beberapa kekurangan dalam drama ini, tidak berarti drama ini tak bagus. Justru bagi saya drama ini sangat recommended sekali bagi penyuka drama genre ini. Yang harus diingat semoga kuat ya melihat adegan yang tidak manusiawi di tiap episodenya yang bikin jantung  serasa mau copot. I will give rating for this drama : 8 from 10.



Kamis, 01 Juni 2017

[BLABBERING TIME] Perihal Niat dan Kesiapan dalam Menikah



“Si A sudah mau menikah bulan depan, loh!”
“Katanya si B sudah lamaran minggu kemarin, mungkin tahun depan menikahnya, tuh!”
Tidak lama kemudian akan muncul sebuah ocehan yang mainstream. “Kamu kapan?”

Ah, rasanya di usia yang sudah memasuki quarter life seperti sekarang ini, obrolan semacam itu sudah tidak dapat dihindarkan lagi. Terutama teruntuk para gadis-gadis yang sudah ngebet nikah. Ada saja orang-orang yang ‘memaksakan’ pembahasan menikah ini naik ke permukaan.

Setelah banyak belajar dan membaca, saya mencoba memahami hakikat dari sebuah pernikahan yang sebenarnya. Ya, bahwa menikah itu sejatinya bukan hanya perihal hidup berdua dengan orang yang kita cintai saja, namun lebih dari itu. Menikah adalah hakikatnya sebuah kompromi. Ketika nanti hormon-hormon cinta itu sudah mulai menipis, yang bisa kita lakukan adalah bercakap dan berkompromi. Ketika masalah sedang datang silih berganti, kompromi lah yang bisa membuat kita bertahan. Dalam sebuah kompromi dibutuhkan pemain yang mampu merawat percakapan. Butuh dua orang yang sama-sama mau mendengar. Kompromi dengan tujuan bersama pada saat awal menikah. Akan lebih mudah apabila kita menikah dengan seseorang yang sepaham dengan visi misi dan tujuan kita. Tujuan menikah didasarkan atas Ridho Allah Subhanahu wa ta’ala. Jika menikah karena persamaan tujuan, ketika terjadi pertengkaran maka dua orang yang berbeda tersebut akan mengingat tujuannya. Pun sama ketika terjadi kesalahpahaman, solusi yang dicari tidaklah merugikan satu sama lain, karena mereka takut akan kehilangan Ridho-Nya. Itu yang utama.

Menikah bukanlah sebuah akhir dari sebuah kisah cinta seperti yang banyak dikisahkan di dongeng-dongeng pada jaman dahulu. Akan tetapi sebuah pernikahan itu sendiri sejatinya adalah awal dari ujian baru. Tahukah kau bahwa sebenarnya jodoh dan pernikahan itu adalah sebuah ujian Tuhan yang akan terus menerus kau nikmati. Sesungguhnya tidak ada pernikahan yang berjalan begitu mulus tanpa adanya ujian, pasti akan ada pertengkaran, air mata dan tawa bahagia yang datang silih berganti, setiap waktu. Ujian ini adalah perihal kompromi, komitmen, ketabahan hati, membangun cinta, dan solidnya kerjasama akan ada di setiap langkah sebuah pernikahan. Namun itu semua akan menjadi cerita indah ketika kalian berdua mampu melewatinya dengan tabah dan tetap berpegangan tangan dengan penuh cinta dan keimanan.

Lalu, masihkah kau merasa terusik dengan pertanyaan ‘Kamu kapan?” lagi? Apa engkau masih iri melihat teman-teman sebayamu sudah memamerkan foto pernikahannya di social media? Berkacalah dan tanyakan dalam nuranimu, “Apa sesungguhnya aku sudah siap?”, “Atas niat apa saya aku ingin menikah?" Coba tanyakan dalam diri sendiri dan renungkan.

Belajar dari tulisan Kurniawan Gunadi membuatku akhirnya sedikit paham. Baginya sebuah pernikahan itu adalah ibarat kapal. Aku setuju.  Ketika kapal belum siap berlayar, tidak mungkin kan kita harus nekat menerjunkannya untuk mengarungi lautan luas. Bahkan pembagian peran bagi awak di kapal pun belum sepenuhnya dipahami. Bagaimana kalau tiba-tiba di tengah perjalanan ada badai ombak dan kita tidak menurunkan layar? Atau bagaimana kita tidak tahu arah mata angin sehingga kapal salah haluan karena justru menabrak karang? Bukan tidak mungkin ketidaksiapan berlayar akan berakhir di tengah lautan.

Oleh karena itu, sebelum berlayar persiapkan kapal dengan baik serta pahami peran-peran masing dalam kapal tersebut. Walaupun belajar bisa sambil di perjalanan, namun setidaknya ilmu-ilmu dasarnya harus kita kuasai terlebih dahulu. Berumah tangga pun juga demikian. Penting untuk memiliki ilmu-ilmu dasarnya terlebih dahulu. Toh, kalau kita sudah paham dengan ilmunya, kita akan siap berlayar kapan pun kesempatan itu tiba.

Ya, saat ini saya sedang dalam proses meluruskan niat tentang menikah. Tentang alasan dan tujuan yang ingin dicapai dari sebuah pernikahan itu nantinya. Bagi siapapun, keinginan menikah tentu bagi setiap orang berbeda-beda. Namun yang harus ditekankan adalah menikah harus bertujuan kebaikan. Sebuah kebaikan yang diikhtiarkan dengan sebaik-baiknya kita mampu. Oleh karena itu, penting untuk mengiringi niat ini dengan ikhtiar-ikhtiar kita untuk dapat mengoptimalkan potensi kebaikan yang diwujudkan melalui pernikahan, baik secara individu maupun dengan pasangan kita nanti kelak. Semoga apapun yang kita niatkan dalam prosesnya, niat itu adalah niat yang diridhai oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dan menjadi jalan menuju surga-Nya kelak. Aamin :)

Jadi tidak perlu terburu-buru lagi dalam menikah. Karena percayalah, waktu yang tepat itu tidak selalu sama. Semua orang punya waktu yang tepat bagi kejadian-kejadian penting dalam hidupnya. Waktu yang tepat yang sudah ditentukan-Nya.



“Dan segala sesuatu kami jadikan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat kebesaran Allah” [QS. Adz Dzariyat: 49]
.
.
.
.
Dari Galuh yang sedang dan masih belajar~


Selasa, 30 Mei 2017

[REVIEW DRAMA KOREA] TUNNEL: When Time Can Reveal Everything.

source image : AsianWiki

Because I’m feel so sick with mellow-lovey-dovey-nya drama Korea, jadi selama beberapa minggu ini benar-benar menyibukkan otak dengan genre mystery thriller ala Korea yang worth it ditonton salah satunya yaitu ‘TUNNEL’. Tunnel juga menjadi my first on-going drama yang pernah aku ikutin. Sebelum-sebelumnya sih download satu-satu sampai tamat dulu baru ditonton. Karena drama ini memiliki plot yang menarik dan ceritanya bisa membuat penasaran, jadi sabar banget deh setiap minggu nungguin buat rilis.
Back to review! Drama ‘TUNNEL’ ini ditayangkan oleh OCN setiap hari Sabtu dan Minggu pukul 22.00 waktu Korea menggantikan slot drama ‘VOICE’ dengan genre yang sama. Walaupun duluan ‘VOICE’ tapi kenyataannya nonton drama ini duluan. Drama ini dimulai pada tanggal 25 Maret 2017 dan berakhir di 21 Mei 2017 dengan 16 episode. Di Korea sendiri respon untuk ‘TUNNEL’ lumayan cukup tinggi dengan mengantongi rating sebanyak 2,8% pada episode perdananya. Ini adalah hal yang bagus karena OCN adalah saluran TV berbayar di Korea. 
Drama ini sendiri memiliki garis besar cerita tentang seorang detektif bernama Park Gwang-Ho (Choi Jin-Hyuk) yang berlatar waktu pada tahun 1986 yang menangani sebuah pembunuhan berantai dengan simbol tato di setiap kaki korbannya. Simbol tato ini menandakan banyaknya korban yang sudah dibunuh oleh sang pembunuh berantai tersebut. Pada tahun 1986 sendiri belum mengenal istilah ‘pembunuhan berantai’, sehingga terciptalah situasi kebingungan di Kepolisian Hwayang dalam mengungkap kasus ini. Insting seorang detektif dari Park Gwang-Ho membawanya ke sebuah terowongan tempat korban pembunuhan pernah ditemukan dan menemukan orang mencurigakan berada disana. Adegan kejar-mengejar antara mereka pun terjadi dan Park Gwang-Ho terluka dan pingsan akibat mendapat pukulan batu dari orang tersebut. Saat kembali sadar dan berjalan keluar dari terowongan, Park Gwang-Ho menemukan dunia yang sangat berbeda dengan dunia yang selama ini pernah ditinggalinya.

Park Gwang-Ho di tahun 2016 

Ketika bangun dan sudah berada di tahun 2016, Park Gwang-Ho mencoba kembali ke kepolisian Hwayang dan bertemu dengan Detektif Kim Sun-Jae (Yoon Hyun-Min) yang mengaku adalah seorang letnan di kepolisian tersebut. Kebingungan Park Gwang-Ho akan situasi ini pun akhirnya membuat keributan diantara mereka berdua. Tidak lama kemudian muncullah sebuah surat mutasi atas nama Park Gwang-Ho dengan tanggal dimulainya yaitu tahun 2016. Akhirnya Park Gwang-Ho sadar bahwa dia sedang tidak berada di tahun 1986. Dengan kalang kabut, ia mencari terowongan tadi dan berharap bisa kembali ke rumah dan bertemu dengan istrinya, Shin Yeon-Sook (Lee Shi-A), namun hasilnya nihil. Ia tetap berada di tahun 2016 dan tidak bisa menemukan istrinya disana.
Singkat cerita, Park Gwang-Ho akhirnya tetap bekerja di Kepolisian Hwayang dengan surat mutasi tersebut. Namun anehnya Park Gwang-Ho di surat tersebut lahir di tahun 1988 yang artinya Park Gwang-Ho tersebut adalah Park Gwang-Ho yang lain. Sebuah kebetulan ketua tim di kepolisian tersebut adalah Jeon Sung-Sik (Jo Hee-Bong) yang mana merupakan rekan Park Gwang-Ho di Kepolisian Hwayang di tahun 1986. Mereka berdua pun bekerja sama untuk Park Gwang-Ho asli di tahun 2016 yang mungkin menjadi jawaban atas terlemparnya ia ke tahun 2016.
Selang tak lama kemudian terjadilah sebuah pembunuhan yang akhirnya membawa memori pembunuhan 30 tahun yang lalu dengan korban bertato di kaki yang muncul kembali. Kejadian tersebut akhirnya mempertemukan takdir antara Kim Sun-Jae yang ternyata adalah anak dari korban pembunuhan berantai 30 tahun yang lalu dan juga seorang Profesor Psikologi Kriminal Shin Jae-Yi (Lee Yoo-Young) yang ternyata adalah anak dari Park Gwang-Ho. Akhirnya mereka bertiga pun bekerja sama untuk menangkap seorang pembunuh berdarah dingin yang gagal Park Gwang-Ho tangkap di tahun 1986 itu. Siapa sebenarnya sosok pembunuh yang berhasil mengelabui mereka hingga 30 tahun lamanya?

SPOILER ALERT!
Karena ini adalah review, aku ingin menilai dan mengomentari beberapa hal dari drama ‘TUNNEL’ ini.
  1. Sang psikopat tak terduga yang menjadi pembunuh dalam pembunuhan berantai selama 30 tahun tersebut adalah Mok Jin-Woo (Kim Min-Sang) yang mana dia ini adalah seorang dokter forensik yang dekat dengan lingkungan mereka. Wah, twist abis sih pas tahu kalo Mok Jin-Woo ini pembunuhnya. Akting Kim Min-Sang benar-benar deh patut diacungi jempol karena bikin pengen nabok mukanya. Trauma masa lalu atas ibunya yang ternyata adalah seorang wanita penghibur, membuatnya jadi seorang pembunuh berdarah dingin yang dengan mudahnya menghabisinya wanita yang menurutnya berdosa dan menganggap dirinya adalah seorang penyelamat. Bahkan motifnya cuma perempuan itu senyum ke laki-laki lain sudah dianggapnya pendosa terus langsung dibunuh. Memang sih namanya saja psikopat.
  2. Bukti tak bergerak yang membuktikan Mok Jin-Woo adalah pembunuhnya adalah bolpoint. Bolpoint dengan nama baptis ‘Noel’ tertulis di ujungnya merupakan alat yang digunakan untuk mentato di kaki setiap korbannya yang artinya DNA pembunuh dan korban terkumpul di ujung bolpoint tersebut. Hal inilah yang tidak mungkin bisa dibuktikan di tahun 1986 karena teknologi saat itu belum bisa mendeteksi hal demikian.
  3. Park Gwang-Ho (Cha Hak-Yeon) tahun 2016 ternyata sudah meninggal dan dibunuh juga oleh Mok Jin-Woo karena dianggap mengetahui rahasianya. Ternyata selama vakum tidak membunuh para wanita dengan stocking, ia melampiaskan hasrat pembunuhnya dengan para lansia yang diberikannya suntikan obat yang perlahan-lahan bisa mengakibatkan kematian. Hal inilah yang diketahui oleh Park Gwang-Ho yang membuatnya mencurigai Mok Jin-Woo, Namun yang sampai sekarang masih janggal adalah kenapa arsip Park Gwang-Ho tahun 2016 semuanya menghilang bahkan fotonya sekalipun? Apa Mok Jin-Woo yang melenyapkannya? Tapi untuk apa? 
  4. Ternyata Park Gwang-Ho tahun 2016 lahir pada tahun 1988 yang pada saat ibunya sedang hamil dibantu oleh Park Gwang-Ho karena terjatuh di jalan dan akhirnya melahirkan. Oleh karena itu, ibu tersebut memberi nama bayinya sama dengan Park Gwang-Ho yang menolongnya waktu itu.


Overall, drama ini sooooo recommended sih! Drama ini berakhir dengan HAPPY ENDING and I’m craving for season 2 plzzzzzz. For rating, I will give 8.5 from 10.

Sabtu, 19 Desember 2015

Terima Kasih


Kalau mengutip salah satu prosa dari Kurniawan Gunadi tentang hakikat seseorang sebelum bertemu, ia adalah laksana dua sungai yang mengalir tak kunjung bertemu di muara. Atau seperti malam dan siang yang dipisahkan meski dalam bumi yang sama. Ya, memang semacam itulah sebelum kita bertemu. Kita hanya duduk sendiri sendiri, berjauh-jauhan, dan akhirnya saling mencari tahu.

Mungkin pertemuan pertama kita memang tak seindah dan sedramatis kisah picisan yang bahkan aku pun lupa apa yang membuatku dulu pertama mengenalmu. Ya, kita hanyalah seseorang yang dikenalkan lewat waktu dan lingkungan. Aku lebih suka yang natural, apa adanya seperti kamu yang sekarang.

Ada beberapa kenangan kecil tentangmu yang terlintas ketika aku menuliskan spasi demi spasi yang hanya bisa aku tuangkan dalam sebuah tulisan sederhana dengan tema besarnya adalah dirimu. Sebab aku tak pandai berkata. Aku bukan jenis manusia yang dengan mudah mengungkapkan apa yang tersimpan di hati lewat lidah. Karena aku bukanlah jenis wanita yang bisa mengutarakan serta merta apa yang mengganjal di sudut hati. Jadi, bolehkah segala tentangmu aku tuangkan disini?

Terima kasih, karena kau telah memberiku tempat ternyaman dalam segala hal. Walaupun tak akan pernah tergantikan, tepat ketika aku menyerahkan hati di saat itulah kau adalah sosok pelindung serupa Ayah bagiku. Kau tahu kan, perasaan nyaman tidak hanya muncul karena sudah saling mengenal lama. Tapi juga karena keyakinan bahwa tidak akan ada tendensi apapun yang harus dikhawatirkan. Nyaman tidak saja betah berlama-lama ketika saling bercakap. Tapi juga nyaman meskipun tanpa suara. Nyaman juga bisa jadi adalah sebuah tanda-tanda percaya. Percaya bahwa apapun yang melekat padaku tidak menjadi masalah atas nilai apapun yang diberikan olehmu. Nyaman ketika tidak harus menjadi orang lain agar terus dicintai. Karena setahuku, cinta yang baik adalah cinta yang menjadikan kita menjadi diri sendiri. Kita yang tidak ditutup-tutupi. Karena cinta, sejatinya adalah penerimaan.

Terima kasih sudah selalu hadir dalam setiap kondisi hidupku, dalam tawa dan juga tangis. Maaf kalau aku selalu merepotkan ketika harus menangis di hadapanmu atas permasalahanku sendiri. Tapi sungguh, “semua akan baik-baik saja” yang terucap olehmu sudah menjadi sebuah penawar dalam keruhnya perasaan. Karena aku tahu, kau bukanlah seseorang yang pandai berkata-kata. Kamu adalah seseorang yang tidak akan berkata “ya” atas “tidak” ataupun berkata “suka” atas “tidak suka”.  Ya, kamu adalah orang yang apa adanya.

Terima kasih telah berbaik hati meminjamkan telingamu untuk mendengarkan aku bercerita, lalu membiarkan aku untuk selalu mencari kau ketika aku membutuhkan juga terima kasih untuk kesabaranmu. Karena aku yakin, tak semua orang sesabar dirimu dalam menghadapi aku. Terima kasih padamu karena telah berbaik hati memberitahuku tentang dunia dari sudut pandangmu. Tentang bagaimana menyikapi hidup dan perasaan.

Terima kasih sudah menjadi teman, sahabat, ayah dan kekasih yang baik selama ini. Banyak harapan kutitipkan pada Tuhan. Agar kita kelak mampu terus bertahan, seberat apapun cobaan yang datang di hadapan. Sebagian aku ada padamu, maka jagalah sepenuh hatimu.


Semarang, 19 Desember 2015

Jumat, 11 Desember 2015

Curhat Epid: Ketika Peminatan Menjadi Salah Satu #CeritaHidupku


Di tengah kegalauan teman-teman seangkatan mendekati hari penentuan peminatan, mungkin yang ada di benakku saat itu tinggalah pemantapan diri. Menjadi seorang Epidemiolog memang sudah aku ikrarkan sejak  semester 2.

Kok mau sih masuk epid?”, “Epid kan anak-anaknya individualis, belajar terus, kutu buku!”. Pertanyaan dan pernyataan sejenis ini bukanlah hal yang mengejutkan untukku, bahasa ringannya sudah terlalu mainstream. Ya, momok semacam itulah yang masih melekat untuk para penghuni peminatan yang satu ini.

Aku sebenarnya tidak menepis bahwa pemikiran-pemikiran itu sempat menciutkan nyaliku. Jelas saja, aku bukanlah mahasiswi yang cukup pandai, aku tidak rajin, dan aku bukanlah seorang kutu buku. Sosok sempurna seorang mahasiswa epid sama sekali tidak melekat dalam diriku.

Aku ingin menjadi bagian dari peminatan mungkin bisa dibilang hanya bermodalkan nekat dan niat.  Bagaimana tidak? Belum masuk saja sudah banyak omongan dan pertanyaan “kamu yakin?” yang terlalu membebaniku. Pertimbangan orangtua serta restu mereka juga menjadi bahan timangan sebelum benar-benar mengisi angket peminatan waktu itu. Persyaratannya pun waktu itu hanya melihat dari nilai Dasar Epidemiologi dengan minimal nilai B.

Proses seleksi peminatan di tahunku memang tidak serumit di tahun sebelumnya yang bisa sampai menggerakkan massa untuk meminta banding. Di tahunku, semua berjalan tenang dan adem ayem, namun tidak bisa dipungkiri tetap ada kendala dan masalah satu dua yang membelit beberapa mahasiswanya juga seperti angket hilang atau akademik yang salah entry data. Sepertinya masing-masing staf bagian peminatan yang ada di FKM Undip sudah mengadakan refleksi dari tahun ke tahun, jadi banyak peminatan yang menawarkan kuota lebih untuk mahasiswanya. Sebut saja bagian Epidtrop yang berani mengambil kuota fantastis dua kali lipat dari tahun sebelumnya dengan membuka kuota sebanyak 80 orang. Ya, jujur aku sempat syok melihat kuota sebanyak itu. Bingung antara harus merasa sedih atau senang mendengarnya. Aku bisa senang yang artinya peluangku untuk masuk bisa lebih besar, tapi di sisi lain aku juga tidak menginginkan kuota epid segemuk itu.

Setelah menunggu beberapa minggu, akhirnya tibalah waktu pengumuman yang paling ditunggu-tunggu para mahasiswa semester lima waktu itu. Ya, inilah aku, yang akhirnya resmi diterima menjadi keluarga Epidemiologi dan Penyakit Tropik 2015.

Seiiring berjalannya waktu, aku menyadari bahwa peminatan ini tidak seseseram kebanyakan orang pikirkan. Epid bagiku adalah sebuah taman bermain. Epid adalah tempat dimana aku menemukan rumah, tempat dimana tawa dengan mudahnya tercipta. Disini segala macam jenis manusia tersedia. Kata siapa epid hanya dihuni si kutu buku, kata siapa epid itu apatis, kata siapa epid itu individualis. Tidak, anggapan itu hampir sepenuhnya salah. Memang tidak bisa ditepis bahwa disini kita memang harus belajar lebih, kita harus terbiasa membaca jurnal, kita harus menghafal dengan susah payah ilmu setengah kedokteran yang rumit, dan kita pun harus terjun ke lapangan serta praktikum bahkan hingga ke luar kota. Tapi inilah tantangannya, bukan?

Bukankah tempaan yang berat membuat pribadi seseorang bisa menjadi lebih kuat? Itu lah yang selalu aku tanamkan selalu di dalam diriku. Yang paling berkesan di peminatan ini adalah bertemu dengan dosen-dosen yang luar biasa yang membuatku selalu merasa semakin bodoh karena tidak mengetahui apapun yang akhirnya memacuku untuk terus belajar lebih dan lebih.

Bagiku tidak harus pandai untuk menjadi seorang mahasiswa epid, asal kamu mencintai ilmunya apapun itu pasti akan terasa mudah. Semua yang dilandasi dengan cinta akan terasa lebih mudah, bukan?

Rabu, 07 Januari 2015

Catatan Seorang Epidemiolog: Menggapai Cita dan Cinta


Menjadi seorang epidemiolog? Sejujurnya tidak pernah terlintas dibenakku untuk berkecimpung di dunia ini sebelumnya. Keinginan awal melanjutkan perjalanan studiku sebagai mahasiswa Kesehatan Masyarakat pun hanya dilandasi atas ketertarikanku pada dunia para medis dengan belum sempat berkenalan lebih jauh tentang seluk beluknya. Setelah menjadi bagian didalamnya, ternyata Fakultas Kesehatan Masyarakat sendiri memiliki 9 peminatan antara lain Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku (PKIP), Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), Gizi Kesehatan, Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Biostatistika, Administrasi Kebijakan Kesehatan (AKK), Kesehatan Lingkungan, Entomologi serta Epidemiologi dan Penyakit Tropik.
Keinginan untuk lebih memperdalam bidang epidemiologi timbul sejak mengenal ilmu dasar epidemiologi di semester 2. Ketertarikanku pada epidemiologi bertambah ketika berkenalan dengan mata kuliah Surveilans Epidemiologi di semester 4. Di Surveilans Epidemiologi kita bisa melaksanakan perencanaan dan evaluasi di bidang surveilans epidemiologi penyakit menular dan penyakit tidak menular, advokasi dan fasilitasi kesiapsiagaan dan penanggulangan KLB, kajian dan diseminasi informasi, kesehatan lingkungan, kesehatan matra, kemitraan, dan jejaring kerja, serta pendidikan dan pelatihan bidang surveilans epidemiologi yang membuatku sangat tertarik.
Dan setelah lulus nanti dan berhasil menjadi seorang epidemilog, saya ingin bekerja sebagai surveilans di BBTKLPP. BBTKLPP atau Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit adalah Unit Pelaksana Teknis di lingkungan Kementerian Kesehatan yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Saya tertarik untuk bekerja di BBTKLPP karena di tempat tersebut tidak hanya menangani perihal surveilans epidemiologi saja, tetapi juga pelaksanaan analisis dampak kesehatan lingkungan (ADKL), pelaksanaan laboratorium rujukan, pelaksanaan pengembangan model dan teknologi tepat guna, pelaksanaan uji kendali mutu dan kalibrasi, pelaksanaan penilaian dan respon cepat, kewaspadaan dini dan penanggulangan KLB/wabah dan bencana, pelaksanaan surveilans faktor risiko penyakit tidak menular, pelaksanaan pendidikan dan pelatihan, pelaksanaan kajian dan pengembangan teknologi pengendalian penyakit serta kesehatan lingkungan dan kesehatan matra. Semoga harapan ini bisa terwujud :)

Link: Epidemiologi dan Penyakit Tropik FKM Undip

Minggu, 12 Oktober 2014

Sebuah Perjuangan


Untuk kau yang sedang berjuang, apa kabarmu? Sudahkah kamu merasa hari ini sudah berusaha terlampau maksimal untuk memenuhi ambisi dan cita-citamu kelak? Apakah kamu tahu, ingin sekali aku memintamu untuk memandang senja sore ini untuk sekedar melepas lelah dan penat bersama di tempat teduh kala itu. Memandang rona langit yang menyesakkan dada yang tidak sekalipun ingin kulewatkan hadirnya kecuali denganmu, seseorang yang membuat senjaku semakin indah. Senja yang mengingatkan bahwa perjuangan hari ini telah berakhir dan sudah saatnya kamu mendekatkan diri denganNya.

Untuk kau yang selalu berjuang, ceritakan padaku siapa yang membuat hari ini terasa berat? Atau justru seseorang yang memudahkanmu untuk berjuang hari ini. Bolehkah aku mengetahui siapa saja mereka? Aku hanya ingin tahu sekedar mengucap terimakasih dalam hati karena sudah menemanimu berjuang hari ini. Bolehkah?

Berjuang itu memang tidak akan ada habisnya. Perjuangkanlah hal-hal yang membuatmu menjadi manusia yang lebih baik, berjuanglah dengan baik karena Allah dan semoga aku menjadi salah satu hal yang ingin kau perjuangkan.

Mungkin kau tidak menyadari, aku juga sedang berjuang untuk mengimbangimu yang sedang berjuang. Aku tidak ingin dari kita saling mengatakan bahwa sedang sama-sama berjuang untuk kita. Biarlah Allah yang paham dan meng-Amin-kan niat baik hambanya. Bagaimana aku berjuang adalah dengan cara memperbaiki diriku, mendekatkan aku pada Tuhanku. Bukankah pada akhirnya Tuhan kitalah yang akan membuat kita bersatu, tak peduli seberapapun kita terpisah nantinya. Aku tidak ingin menggantungkan sesuatu hal padamu, begitu pun kamu. Karena manusia pada dasarnya adalah makhluk dengan segala stok gudang kekecawaan, bukan? Jadi, serahkan pada Tuhan. Dialah yang sebenarnya sedang kita tuju bersama.


Jadi, selamat berjuang calon imamku. Semoga Tuhan menjaga aku dan kau sampai pada waktu yang sudah digariskan untuk kita berjalan pada satu jalan yang sama :)

Semarang, 12 Oktober 2014