Sebuah kisah pendek yang pernah aku tuliskan untuk seseorang yang pernah kukenal. Seseorang yang bertanya kepadaku bagaimana kelak aku ingin dilamar. Sesederhana kisah ini.
“Hiduplah bersamaku...”
Aku memandang pria yang berlutut di
hadapanku sembari meremas-remas ujung gaun baju terusanku. Beberapa orang
kebetulan melintasi kami berhenti sejenak dan melempar pandangan ingin tahu.
Saat ini, aku dan pria ini tengah menjadi tontonan yang menarik bagi mereka.
Jarang-jarang kan kau melihat seorang lelaki melamar gadisnya di pinggir sungai seperti ini?
Dan gadis itu adalah aku.
Dia tampaknya tak begitu
terpengaruh oleh kebisingan di sekitar kami. Matanya terfokus kepadaku,
pancarannya penuh dengan sorot keyakinan dan keseriusan. Aku menelan ludahku,
gugup. Jawaban apa yang harus kuberikan?
Tentu saja kau harus menerimanya!
Tetapi, kami kan baru berpacaran
selama empat bulan!
Kedua sisi yang berlawanan arah di
dalam diriku itu terus berdebat, sementara aku hanya bisa menekan-nekan
pelipisku dengan panik. Apa yang harus kukatakan?
“Kenapa harus aku? Dari sekian
banyak gadis...” suaraku semakin mengecil dan akhirnya hilang ditelan rasa
takut. Perasaan cemas itu berlipat ganda, sementara aku menanti bibirnya
terbuka untuk memberi jawaban.
“Karena aku merasa kaulah orang
yang tepat untukku. Karena bersamamu, aku tahu bahwa semuanya akan baik-baik
saja. Dan karena kau adalah kau, orang yang selalu ingin kujaga dengan sepenuh
hati dengan seluruh hidupku.”
Aku terdiam, merasakan bulir-bulir
air mata mulai terbentuk dan mengalir pelan membasahi kedua pipiku. Dia adalah
lelaki yang baik dan bertanggungjawab, itu aku sudah tahu. Dia adalah orang
yang manis dan selalu menyayangiku, itu aku juga sudah tahu.
Namun baru sekarang aku tahu, baru
sekaranglah aku benar-benar menyadari seberapa tulusnya cinta pria itu
kepadaku. Ketulusannya sama berharganya dengan nyawanya sendiri.
Jadi, apa aku masih bisa menolak?
“Aku mau,” bisikku akhirnya.
Orang-orang di sekitar kami bertepuk riuh, menyoraki kami dengan ucapan selamat.
Dia pun bangkit berdiri, menggenggam kedua telapak tanganku erat-erat. Ia
melemparkan senyum manisnya, senyum yang selalu berhasil memenangkan hatiku.
“Terima kasih banyak. Aku berjanji,
aku akan selalu ada untukmu. Sepanjang hidupku. Sampai maut memisahkan kita.”
0 komentar:
Posting Komentar